Pengajian: Raktualisasi Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Pandangan orang tentang arti hidup selalu berbeda. Pertanyaan seperti; untuk apa hidup bagi manusia, selalu berbeda jawabannya. Bagi umat Islam, hidup bukanlah sekedar untuk hidup. Hidup (di dunia) bukanlah tujuan. Kehidupan manusia merupakan proses dan tahapan yang akan berakhir di dunia dengan datangnya kematian. Sebagai proses, kita menyadari bahwa; hidup tentu memerlukan berbagai sarana. Sarana yang paling mendasar secara fisik adalah aspek kesehatan dan aspek ekonomi. Perbedaan hidup manusia dengan hidup yang dialami oleh makhluk lain, hanyalah terletak pada nilai dan makna. Sedangkan nilai dan makna hidup manusia ditentukan oleh aspek spiritual yang dibarengi sikap taawaun ala birri wannhayu anil mungkar. Hal ini tersirat dalam firman Allah Ta’alaa yang berbicara tentang “etos kerja” Qur’an Surat; Al Jumu’ah ayat 9 :Artinya : “Maka, apabila telah ditunaikan sembahyang, bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah kepada Allah banyak-banyak, supaya kamu beruntung.”

Esensi makna yang terkandung di dalam ayat di atas, tersirat adanya kecenderungan pada titik tekan ikhtiyar, usaha dan bekerja yang sama sekali tidak mengesampingkan aspek-aspek spiritual sebagai pengendalian “nilai dan makna hidup”, bagi manusia.

Model pembangunan yang hanya memfokuskan pada pertumbuhan ekonomi hanya akan memisahkan atau mengasingkan aspek spiritual tadi. Alienasi antara keduanya akan tercermin pada pemisahan agama yang tidak menyatu dengan aktifitas pelembagaan ekonomi. Keadaan seperti ini akan mendorong pada disintegrasi tata nilai dan norma antara aspek spritual dan ekonomi. Ini berarti bahwa; ekonomi merupakan sistem nilai tersendiri dan aspek spiritual juga punya tata nilai sendiri. Akibatnya, gerakan ekonomi berjalan secara diametral/terpisah dengan sistem nilai spiritual. Pada gilirannnya gerakan ekonomi berjalan bebas tanpa spiritualitas dan meluncurkan sikap kompetitif yang bila tidak dikontrol oleh apek spiritual (nilai-nilai rohania, moralitas dan kejiwaan) akan cenderung ke arah pembentukan faham individualisme, materialisme dan konsumerismenya yang pada akhirnya tercipta budaya “Hedonisme” yaitu ‘pandangan hidup yang menganggap bahwa kesenangan dan kenikmatan materi adalah tujuan utama dalam hidup.’ Dan yang jelas faham dan budaya semacam ini bertentangan keras dengan “Etika berekonomi” dan moralitas dalam Islam.

Disinilah pentingnya media dakwah yang partisipatif yang secara interaktif dapat mengintegrasikan kembali nilai spiritual dan aspek ekonomi sebagai tumpuan hidup. Dalam kaitan ini, Allah SWT mendorong adanya interaksi dari sekelompok umat Islam untuk memasarkan Amar Ma’ruf Nahi Mungkar: mengajak kepada kebaikan dan menjauhi kemungkaran. Allah berfirman dalam surat Ali Imran ayat 104 :

Artinya : “Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah kepada yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”

Dan dalam kerangka operasional pelaksanaannya, harus menggunakan media dakwah yang ideal, konseptual dan partisipatif, Allah Ta’ala berfirman dalam Al Qur’an :

Artinya : “Ajaklah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah (perkataan yang tegas dan benar) dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang Maha Mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan
– Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang menadapat petunjuk.”
(Qs. An Nahl : 25)

Ketika dinamika kemasyarakatan mengalami perubahan yang sedemikian dahsyat, sebagai akibat proses modernisasi yang sarat dengan dominasi ekonomi, kemajuan tekhnologi, melubernya informasi dan tingginya tingkat mobilitas/perpindahan manusia dalam bentuk urbanisasi misalnya, jelas akan mengubah pola dan wajah perilaku masyarakat menjadi individualistik, materialistik dan tumbuh dan berkembangnya budaya “Hedonisme” yang tentunya akan meruntuhkan struktur sosial yang sudah mapan.

“Kegelisahan sosial” yang diakibatkan oleh alih tehnologi material yang tidak terkontrol menuntut adanya strategi baru dalam dakwah mengajak kepada kebaikan.  Dakwah di era Tekhnologi canggih seperti ini tidak cukup hanya dengan dakwah secara verbal: dari mimbar ke mimbar, tapi segala cara harus ditempuh agar bagaiamana pesan amar makruf nahi mungkar ini bisa sampai ke telinga umat Islam pada khususnya. Untuk itu kecanggihan tekhnologi ini harus dimanfaatkan secara posistif dan maksimal untuk mengontrol perilaku umat agar sesuai dengan ajaran-ajaran agama.

Konsep yang paling mendasar dalam dakwah adalah menyadarkan mansia dari;

Pertama : mamahami kembali makna dan tujuan hidup yang sebenarnya, dan yang
Kedua : menanamkan pandangan menganggap bahwa “dunia” adalah kebendaan dan kekayaan materi “merupakan realitas yang terendah.” Namun demikian Islam tidak mengajak manusia kepada faham fatalistik, memusuhi dunia secara total tapi menjadikan dunia bukan sebagai tujuan hidup tapi hanya sebagai jalan untuk menggapai kehidupan abadi setelah mati. Oleh
karenanya agama Islam tidak membelah dua wilayah spiritual dan realitas sosial menjadi dua wilayah yang berjalan sendiri-sendiri tapi saling sinergis dan melengkapi.

Allah mengingatkan kita agar tidak tertipu oleh silau dunia. Karena ini tidak akan menghasilkan apa-apa kecuali penyesalan yang tiada guna. Al Qur’an Allah berfirman :
Artinya : “Bukanlah kehidupan duniawi itu, kecuali  kesenangan yang menipu

Dalam surat yang lain Allah juga memperingatkan agar tidak mempertuhankan benda sehingga
lupa bahwa dalam benda kekayaan itu ada hak bagi orang miskin. Artinya : “Berlomba untuk menumpuk kekayaan telah membuat kalian-kalian lupa (akan hakikat hidup), sampai kalian masuk keliang kubur.” (Qs. At Takatsur : 1 dan 2)

Kata-kata “DUNYA” disebut lebih dari seratus kali dalam Al Qur’an, hampir kesemuanya dalam konteks dikecam, minimal melecehkan orang-orang yang menganggap kenikmatan dan prestasi duniawi sebagai kenikmatan dan prestasi yang sejati. Demikian juga kata-kata “MAL atau AMWAL” disebutkan sekitar 78 kali dalam Al Qur’an lebih banyak memberikan “peringatan” agar manusia tidak sampai tertipu dengan memandang kekayaan materi sebagai tujuan, disatu sisi dan pada pihak yang lain Al-Qur’an memberikan “dorongan” agar manusia bergegas menggunakan kekayaannya sebagai alat untuk mencari kebahagiaan sejati di akhirat. Lalu caranya bagaimana ? Allah Azza Wa Jalla memberikan petunjuknya melalui firmannya dalam Al Qur’an Surat As Shaff ayat 10 dan 11 :

Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan
yang dapat menyelamatkan kamu dari adzab yang pedih ? (yaitu) kamu beriman kepada Allah,
Utusannya dan berjuanglah di jalan kebaikan dengan harta dan potensi pribadimu. Itulah
yang lebih baik bagimu, sekiranya engkau tahu.”

Mudah-mudahan kita senantiasa mendapatkan bimbingan, Taufiq serta hidayah dari Allah SWT. Amin 3x Yaa …… Robbal ‘Alamin !

Ustadz Muhammad Afifuddin, Lc

Leave a comment